Sejauh Apa Alam Akan “Menghukum” Umat Manusia? #1


Coronavirus masih berkeliaran di antara kita sampe hari ini (7/5/20). Semua manusia punya potensi yang sama untuk dijangkit sama ini penyakit. Makanya, semua orang disarankan untuk tidak sering keluar rumah. Akhirnya, jalan-jalan utama dan aktivitas transportasi penduduk pun (seharusnya) menyepi. Mobil yang biasa berjejal berkurang, pesawat yang harusnya terbang diikat ke daratan.


Berkurangnya aktivitas transportasi tentu aja berdampak besar pada lingkungan. Semua kendaraan yang biasa dipakai manusia ngeluarin karbon emisi yang ngehajar lapisan ozon. Tentu ketika semua kendaraan itu berenti beroprasi lapisan ozon bumi bisa istirahat dan sedikit ambil nafas.


CNN International mengabarkan (23/4) bahwa polusi udara mengalami penurunan drastis yang gak pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia. Ibu Kota India New Delhi tercatat (Kota yang selalu aja nomor wahid dalam tingginya kadar polusi udara) mengalami penurunan sebesar 60%.  Seoul Ibu Kota Korea Selatan mencatat penurunan kadar polusi sebesar 54%. Bahkan kabarnya, kini masyarakat kota-kota tertentu di India bisa liat pegunungan himalaya karena langit yang jernih. 


Ga cuma udara aja yang semakin jernih, perairan juga dikabarkan membaik setelah manusia dikunci dalam rumah masing-masing. Ubur-ubur keliatan mulai berenang di kanal-kanal kota Venice. Lumba-lumba juga udah berani muncul di perairan Thailand. Bahkan, kabarnya paus mampir ke perairan Perancis sama Turki. 


Dengan semua kabar baik ini, bisa gak sih, kita nyimpulin kalo Coronavirus itu obat buat dunia? Kayak di film Godzilla yang bilang bahwa monster-monster itu bukan pengen ngancurin dunia, tapi malah nyembuhin bumi dari kerusakan yang dibawa manusia. Bener ga sih, Coronavirus ini adalah “kabar baik” bagi ekosistem Planet Biru? Lagi-lagi, Iya dan gak juga.


Iya, coba diucapin dengan nada getir dengan huruf “h” di akhirnya. Ini tetap kabar baik untuk lapisan ozon kita dan perairan planet Bumi. Kayak orang yang diperintah untuk berdiri dalam sebuah apel siang bolong selama berjam-jam, terus dia dikasih kelonggaran untuk duduk selama 10 menit. Tapi abis itu berdiri lagi sampe waktu yang gak ditentukan. Kabar baik, kan? Walau cuma 10 menit. (Ya ga juga sih malah nambah bikin geregetan wkwk).


Dilansir dari Reuters dalam videonya yang berjudul Carbon Shift, bahwa penurunan polusi udara selama masa karantina itu cuma penurunan sementara. Dan ini gak cukup untuk nyelametin dunia dari bencana iklim yang akan segera kita hadapi. Bencana Iklim? Iya, nanti kita akan bahas.


Dalam video itu, Roisin Commane seorang asisten Profesor dari Columbia University bilang kalo kondisi baik ini gak akan bertahan lama. Dan ketika karantina diangkat, semua manusia bakal kembali beraktifitas seperti biasa. Polusi udara bakal masuk lagi ke ring tinju dan kembali mukulin lapisan ozon kita. 


Masih dari sumber yang sama, bahkan dikatakan setelah semua urusan Coronavirus ini kelar, para ahli memperingatkan akan munculnya kenaikan polusi udara yang lebih besar dari sebelumnya. Kenaikan drastis pasca karantina ini disebabkan oleh industri dan negara yang mau ngejar kerugiannya selama masa karantina. Tentu aja semua bisnis dan industri bakalan maksimalin aktivitasnya buat nutupin apa yang ilang dan “bolong” selama Lockdown. Semua aktivitas ini jelas bakal mempercepat peningkatan polusi udara. 


Oke, sekarang kita tahu bahwa aktivitas manusia bisa menghasilkan polusi udara dan mencemari lingkungan. Tapi dampak langsung apa yang akan kita rasakan ketika semua itu jadi semakin parah? Apa sih “bencana iklim” itu?


Climate Crisis

Sebenernya pada dasarnya Bencana Iklim ini retorika hiperbola dari kata “Perubahan Iklim” (Climate Change). Perubahan Iklim ini semacem perubahan siklus cuaca yang terjadi di planet Bumi kita tercinta. Di Abad 20 ini, Perubahan Iklim planet kita jalan ke arah yang mengkhawatirkan. Iya la soalnya aktivitas manusia kebanyakan destruktif untuk lingkungan. Sering kan kita denger “Pemanasan Global” akibat dari ulah manusia? Itulah salah satu penggerak Perubahan Iklim abad ini.


Nah, karena kondisi yang mengkhawatirkan ini, “Perubahan Iklim” sekarang gak lagi sebatas “Perubahan”, tapi bisa disebut “Bencana” atau bahkan “Krisis”. Jadi muncul deh istilah-istilah itu Climate Crisis atau kadang Climate Emergencies.  


Sekarang, ayo coba kita bahas dari dua hal yang cukup esensial dari omongan seputar Climate Crisis ini. Sebenarnya, ketika ngomongin Climate Crisis, kita bisa bicara banyak bencana alam kayak kenaikan level air laut (ini bisa membuat beberapa kota pesisir tenggelem. Baca liputan tentang kenaikan level air laut disini), atau kekeringan di beberapa wilayah, cuaca yang sangat gak menentu, dan masih banyak lagi.


Semua urusan itu bisa pembaca cari sendiri sumbernya, yang akan kita bicarakan disini adalah masalah Microplastic dan Locust Invasion


Microplastic Dulu Nih

Oke sekarang kita bahas Microplastic. Apa itu Microplastic? Partikel plastik yang kecil banget? Yes! Jadi mengutip dari The Guardian, sebenernya gak ada definisi yang disepakati untuk Microplastic. Tapi beberapa peneliti menyebut Microplastic itu plastik yang lebih kecil dari 5 mm. Tapi, Mark Browne, seorang peneliti dari New South Wales University yang udah menggeluti dunia plastik dari 2004 bilang kalo yang dimaksud dengan Microplastic itu plastik yang ukurannya antara 1 micrometer sampai 1000 micrometer. (1000 micrometer = 1 milimeter).


Terlepas dari definisi yang tepat buat benda kecil ini, ya intinya Microplastic itu partikel kecil yang berasal dari sampah-sampah plastik. 


Nah, masih menurut Mark Browne, dia bilang kalo sebenernya dampak buruk Microplastic pada kesehatan manusia belum bisa diteliti. Tambahan dari Kevin Thomas, seorang ilmuwan lingkungan, bilang kalo sebenernya partikel kecil ini gak ngebuat sistem immune kita bergerak ketika mereka bertemu. Artinya, plastik kecil ini pada dasarnya emang gak berbahaya. Tapi, masih menurut Kevin Thomas, bahwa bisa aja partikel ini berbahaya kalo dia jadi sangat kecil dan akhirnya bisa ngelewatin dinding usus kita. Tapi sayangnya, kalo emang partikel itu bisa jadi sekecil itu, maka susah banget untuk diukur dan diteliti. Nah ini lah yang serem, sampe sekarang bahaya nyata dari Microplastic untuk tubuh manusia belum ketahuan.


Kita tu kalo makan Seafood, atau minum air biasa aja, itu kita bisa jadi tergolong pengkonsumsi Microplastic yang gak sadar. Malah ada research iseng-isengan yang bilang bahwa beberapa puluh tahun kedepan, manusia bakal numbuhin metabolisme unik dalam tubuhnya karena terlalu banyak mengkonsumsi Microplastic


Masalah Microplastic ini tentunya merembet ke dunia flora dan fauna. Banyak plastik-plastik kecil yang tanpa sadar di makan sama hewan-hewan di laut. Ini tentunya ngebuat mereka sakit, organ dalam rusak, bahkan sampe pada mati kan.


Banyak banget ulasan tentang bahaya plastik yang berceceran di lautan. Kalo temen-temen tertarik Simple Search di Google pasti bisa sangat membantu. Atau kita bisa bahas hal ini nanti lebih dalem.


Kalo Flora Fauna laut kena dampak, nanti ujung-ujung nya kita juga yang rugi. Ya iya lah nanti lama-lama Seafood kita ga bersih, atau dalam skenario terburuk, hewan-hewan yang selama ini kita liat bisa gak ada lagi taun depan, atau dekade yang akan datang. Tuh, manusia yang banyak gaya, akhirnya manusia sendiri yang kena getahnya. Ya anggap aja lah ini “hukuman” karena manusia pada sembrono. Ya tapi nyebelin juga sih yang sembrono segelintir orang tapi yang kena batunya rame-rame wkwk.


Nah ternyata udah cukup panjang cuma bahas Microplastic sama intro Climate Crisis doang. Yauda deh kita bisa bahas masalah Locust Invasion di artikel depan. Seru dan serem sih serangan belalang ini. Makanya, sampe ketemu di artikel selanjutnya!

Comments

Barangkali Terlewat

Seberapa Jauh Islam Menjamin Kebebasan Anda Sebagai Manusia?

Kenapa Islam Harus Diterapkan Dengan Bentuk Sistem Menyeluruh?

Alerta! Dunia Islam Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Sayyidah Maryam dan Keluh nya