Seberapa Jauh Islam Menjamin Kebebasan Anda Sebagai Manusia?


Di artikel sebelumnya (Kenapa Islam Harus Diterapkan Dengan Konsep Menyeluruh), saya sudah membicarakan kenapa semua manusia dalam sebuah negara harus tunduk pada sebuah hukum tanpa terkecuali. Pemimpin, Penegak Hukum, Pemegang Senjata, hingga Rakyat biasa harus tunduk pada satu paket hukum yang telah disepakati untuk diterapkan.

Dalam artikel yang sama, saya juga mengatakan bila semua sepakat bahwa ketundukan pada hukum adalah satu hal yang utama, maka sistem yang paling ideal untuk diterapkan adalah sistem Islam. Klaim ini bukan klaim biasa yang bisa dilontarkan tanpa pembahasan mendalam. Bila klaim kesempurnaan sistem Islam ini ingin diterima, maka sepaket penjelasan logis haru benar benar disediakan. Untuk itu, mari kita bahas kesempurnaan sistem Islam lebih dalam lagi.

Kita masuk pada suatu hal yang paling dituntut oleh kebanyakan manusia; kebebasan. Pada dasarnya manusia ingin hidup bebas. Terlepas dari apa makna kebebasan, manusia ingin hidup dengan pilihannya sendiri. Bahkan, manusia yang sulit menentukan pilihan sendiri, dan kadang harus bergantung pada keinginan orang lain, juga ingin bebas untuk menjalani apa yang ia yakini. Bayangkan, seseorang tidak bisa membuat keputusan, lalu dia meminta orang lain untuk membuat keputusan untuknya, bila orang lain itu tidak mau membuat keputusan untuk nya, atau bahkan melarang orang ini untuk meminta orang lain membuat keputusan atasnya, maka kebebasan sudah direnggut dari orang yang tidak bisa membuat keputusan sendiri ini. 

Orang yang paling setuju dengan pengekangan pun, ingin bebas dari cacian atau intervensi orang lain. Misalnya seseorang sangat setuju dengan sistem otoritarianisme. Lalu dia ingin menyampaikan pendapat betapa setuju nya ia dengan sistem tersebut. Maka ia ingin mendapat kebebasan mengungkapkan pendapat yang ia miliki. Kebebasan adalah aspek fundamental bagi manusia yang harus dipenuhi.

Sampai di titik ini kita pasti menyadari satu hal. Memang kebebasan itu penting, tapi bila seseorang diberi terlalu banyak kebebasan, maka hal buruk seakan tak terhindarkan. Akan banyak bermunculan orang yang bertindak seenaknya dan semaunya. Bisa bisa, hukum rimba berlaku. Saking bebasnya, maka manusia yang berkuasa adalah manusia yang punya keunggulan sejak lahir. Dan tidak akan menyisakan celah pertumbuhan bila tidak dikehendaki oleh yang punya kelebihan tersebut. Yang kuat, dia yang memangsa dan berkuasa.

Disinilah baru kita bisa mendefinisikan kebebasan yang berhubungan dengan hukum dan sistem pemerintahan. 

Dalam definisi yang paling dasar, Leonard Read mendefinisikan Kebebasan sebagai Absennya Pengekangan. Bila dipikir lebih jauh, maka definisi dasar ini ada hubungannya dengan analogi diatas. Bayangkan sebuah lingkungan dimana yang kuat yang berkuasa. Betul bahwa si kuat mendapat kebebasan, karena dia bisa melakukan apapun pada siapapun. Tapi tidak bagi yang lemah dan didominasi. Kebebasan akan direnggut dari dirinya. Berarti, kebebasan tidak benar benar terimplementasikan dalam lingkungan tersebut.

Karena itulah, John Locke, seorang Filsuf Inggris abad ke-17 yang namanya sering kita dengar dari buku-buku Pendidikan Kewarganegaraan, memberi sebuah definisi kebebasan secara apik melalui norma hukum. 

John Locke menyatakan bahwa tujuan akhir dari hukum adalah menghilangkan semua pengekangan. Maka hukum harus membebaskan seseorang dari kondisi “tunduk pada kehendak orang lain”. Manusia harus memiliki mendapat kebebasan dalam kehidupannya. Dan harus ada yang melindungi kebebasan tersebut. Pelindung kebebasan itulah yang kita sebut sebagai hukum. Dengan begitu, peletakkan hukum justru untuk menjamin kebebasan setiap individu.

Sekarang, mari kita bawa semua konsep pikiran diatas menuju alam yang lebih agamis.

Probabilitas munculnya pikiran yang membenturkan Islam dan kebebasan memang ada. Artinya, orang lumrah saja berfikir “bagaimana Islam yang didalamnya penuh dengna perintah-perintah bisa disebut sebagai agama yang membebaskan?” Islam mengatur manusia dari bangun hingga tidur. Kalaupun ada manusia yang tidak tidur Islam atur pula kehidupannya. Bukankah konsep ini bertentangan dengan kebebasan?

Perlu diketahui, pada masa sekarang berkembang pemikiran kebebasan yang cukup ekstrim. Orang berpendapat bahwa negara tidak seharusnya ikut campur dalam urusan dapur dan ranjang seseorang. Artinya, semua itu adalah ranah privasi yang tidak bisa diintervensi. Ini adalah pemikiran “liberal” yang berbahaya dan harus dipertentangkan. Mari kita ulas secara perlahan.

Pada dasarnya, manusia punya kebebasan dalam dirinya. Bahkan ketika seseorang menjadi anggota dari komunitas paling ketat sekalipun. Mari kita ambil logika Jon Snow untuk menalar hal ini. Jon Snow, yang menjadi bagian dari Night Watch harus menaati sumpah setianya. Diantara sumpah itu adalah menanggalkan gelar bangsawan, tidak berhubungan dengan perempuan, bahkan tidak boleh memiliki anak. Dia juga harus mengabdi pada kesatuan Night Watch hingga akhir hayatnya. Peraturan seperti itu jelas sangat mengekang kehidupan seseorang.

Namun, Jon Snow tidak berpikir demikian. Ia masih menganggap dirinya punya kebebasan. Dalam ungkapannya ia berkata, “Aku adalah orang yang merdeka. Karena aku cukup merdeka untuk memilih bergabung dengan kesatuan Night Watch.” 

Manuisa punya kebebasan. Bahkan Islam dengan aturan yang cukup banyak, manusia pada dasarya tetap punya pilihan untuk memeluk islam atau tidak. Islam tidak pernah mengajarkan pemeluknya untuk memaksa orang lain masuk Islam. Membuat sebuah kondisi seseorang seakan tidak punya pilihan lain selain berislam, Islam tidak memberi ajaran seperti itu. 

Artinya, bila memang seseorang memeluk islam, walaupun Islam punya banyak aturan-aturan yang mengatur hidup manusia, kita tetap bisa mengatakan bahwa Islam adalah agama yang “Ramah Kemerdekaan” atau menjunjung kebebasan juga. Karena itu Islam bisa dikatakan sebagai agama kebebasan.

Pembahasan tentunya tidak berhenti sampai disini. Kita baru selesai membangun dasar argumen. Sekarang kita masuk ke konstruksi bangunan utamanya.

Negara, sebagai lembaga tertinggi yang memegang nasib jutaan manusia dalam teritorinya, tentu bertanggung jawab atas kehidupan rakyat banyak. Negara harus bisa mewujudkan lingkungan yang mendukung kesejahteraan masyarakatnya. Entah masyarakat itu akan sejahtera atau tidak. Menerima diarahkan untuk sejahtera atau tidak. Yang jelas negara punya kewajiban mencoba dan merealisasikan kesejahteraan itu. Beratnya tugas ini tentu sepadan dengan hak istimewa yang diberikan pada jajaran pemerintahan.

Bila urusan negara berarti urusan rakyat banyak, maka tidak tepat bila kebebasan dalam bernegara diterapkan hanya dengan memandang kepada beberapa golongan saja. Semua golongan harus berusaha diakomodir kebebasannya oleh nagara. Kalau begitu, apakah jadi masuk akal? Kebebasan yang diakomodir dan disesuaikan dengan kebebasan orang lain bukankah sama saja dengan “membatasi kebebasan”?

Kebebasan ini adalah hal yang unik. Kebebasan seperti sebuah produk Tuhan yang berjalan dengan siklus alami secara otomatis. Bisa dianalogikan seprti air yang sudah kita pakai. Kemanapun air itu mengalir nantinya, ke laut atau ke dalam tanah, kita tak perlu khawatir. Karena ada mekanisme alam yang akan mengembalikan air itu kepada kita dalam bentuk bersih seperti sebelum dipakai.

Kebebasan pun demikian. Seiring berkembangnya kebebasan seorang individu, dengan sendirinya kebebasan itu akan dibatasi oleh kebebasan orang lain yang juga ikut berkembang. Dan pada akhirnya, akan ada satu titik dimana semua kebebasan itu berhenti berkembang karena benar-benar dibatasi oleh kebebasan orang lain. Tidak ada kebebasan yang egois terus berkembang hingga mempersempit ruangan kebebasan orang lain yang juga ingin berkembang.

Kondisi dimana semua kebebasan itu berhenti berkembang, dan manusia hidup dalam sebuah stabilitas ideal adalah apa yang ingin Islam capai sebagai konsep tatanan peradaban. Islam berusaha menengahi “sengketa” kebebasan antar Individu yang ada. Mari kita ambil contoh kasus untuk memperjelas.

Ambil sebuah Statemen yang mengatakan bahwa Negara tidak berhak mengatur urusan ranjang seseorang. Artinya, hubungan intim (maupun tidak) antar pasangan jenis sebaiknya tidak banyak diintervensi. Bila keinginan itu dituruti, kita bisa membayangkan hal buruk apa yang akan terjadi. 

Ada banyak hal buruk yang bisa terjadi bila urusan ranjang tidak dianggap serius oleh negara. Pertama, kita semua sama-sama tahu bahwa banyak remaja yang salah pergaulannya, dan hidup dalam kesulitan karena sebuah masalah utama, Broken Home. Kadang, anak dengan keluarga Broken Home mendapat tekanan mental yang berat dan berdampak membahayakan bagi si anak. Bila generasi Broken Home ini meningkat jumlahnya, akan jadi apa kualitas manusia usia muda di negri kita? Tentu akan memberi dampak panjang yang berujung pada kondisi yang tidak kita inginkan. 

Broken Home kebanyakan terjadi karena masalah parenting yang kurang baik. Dan masalah Bad Parenting ini seringkali berhubungan dengan pergaulan bebas. Entah karena MBA atau sejenisnya. Bahkan berpacaran saja (tanpa hubungan intim) bisa berimbas buruk pada dunia pernikahan. Kita semua tau itu.

Kedua, pemuda tentunya punya masa depan. Terlepas dari kondisi seperti apa yang dimiliki seorang pemuda saat itu. Masa depan pemuda ini tentu menuntut kebebasan bergerak, dan absennya kekangan-kekangan berarti. Bayangkan, bila masalah pergaulan ini tidak dibendung, bisa berujung pada runtuhnya masa depan pemuda itu. Bisa jadi yang seharusnya ia bisa mengejar impiannya, karena dia terpaksa mengandung anak, maka ia harus memikirkan ulang semua impiannya itu. Pihak lelaki pun harus bertanggung jawab, bila tidak, bukannya menyelesaikan masalah justru akan membuat masalah yang lebih besar.

Ketiga, banyak orang yang masih ingin memegang moral sehat bangsa Indonesia dengan tidak berzina dan membatasi interaksi antar lawan jenis. Mereka yang ingin memperjuangkan moral sehat ini punya kebebasan yang sama dengan yang meneriakkan kebebasan interaksi. Disini kita menemukan tabrakan kebebasan yang harus diselesaikan. 

Disitulah negara harus punya pertimbangan dan kajian mendalam tentang pendapat mana yang harus dimenangkan. Bila dipikirkan, perbuatan zina dan interaksi yang tidak dibatasi malah mencoreng hak banyak orang. Perbuatan zina bisa mencoreng kebebasan seorang pemuda dengan ambisi besar di masa depan. Perbuatan zina bisa mencoreng kebebasan anak yang mungkin akan lahir dengan tekanan mental karena merasa dirinya “anak haram”. Perbuatan ini juga bisa mencoreng kebebasan anak yang malah mendapat perlakuan buruk dari orang tuanya karena Broken Home. Atas pertimbangan itu, maka perbuatan Zina harus dilarang.

Karena pelarangan perbuatan ini didasari oleh kepentingan banyak orang, maka pelarangannya bukan menjadi poin pengekangan, melainkan pembebasan. Orang bebas dari ancaman perbuatan Zina. Orang bebas dari pengaruh buruk yang mungkin terjadi bila interaksi yang tidak dibatasi ini merebak.

Tapi apakah Islam melarang “substansi” zina yaitu penyaluran hasrat seksual? Tentu tidak! Islam melarang bukan tanpa solusi. Islam memberi jalan yang lebih baik untuk penyaluran hasrat seksual yaitu pernikahan. Tak hanya sampai disitu, Islam juga mengatur dan memberi rekomendasi bentuk rumah tangga yang ideal agar mencapai keharmonisan dan kebahagiaan. Semua rekomendasi itu ibarat gambar kosong yang bisa bebas kita warnai. Jadi paket rekomendasi ini tidak semengekang kelihatannya.

Problema Interaksi ini adalah satu dari banyak sekali contoh yang bisa diambil untuk mengukur kebebasan yang Islam berikan. Kita juga bisa mengambil contoh dari segi finansial. Ada juga orang yang menganggap bahwa negara sebaiknya tidak ikut mencampuri urusan dapur. Artinya, keuangan pribadi agar tidak usah diintervensi.

Tentunya kita bisa mengulang pola yang sama. Aturan Zakat dalam islam bukan berarti islam mencampuri dan membatasi keuangan pribadi seseorang. Ini terjadi semata-mata dan lagi-lagi karena tabrakan kebebasan yang ada dalam masyarakat. Orang yang punya harta lebih, punya kebebasan mengatur hartanya. Tapi ada orang yang tidak punya harta dan ia juga punya kebebasan untuk hidup sejahtera. Untuk menjembatani antara kedua pihak, maka dibuat jembatan bernama Zakat.

Zakat sama seperti larangan Zina, ia bukannya membatasi seorang individu, tapi membebaskannya dari dampak buruk yang mungkin terjadi bila kedua aturan itu tidak ada. Kini kita bergulat melawan kemiskinan dan dampak-dampak buruknya. Bila Zakat benar-benar diterapkan secara efektif, maka kemiskinan akan sedikit demi sedikit tereduksi dengan pasti. Dan kita terhindar dari dampak buruk yang tidak kita inginkan.

Saya baru membahas dua contoh perkara saja. Yang banyak disebutkan dalam artikel ini adalah pemahaman dasar. Dengan pemahaman dasar ini, dan contoh yang sudah disediakan, kita bisa menilai banyak perkara dengan metode yang sama. 

Mari kita sama-sama membangun dan menyebarkan pemahaman tentang superioritas Islam dalam mengatur tatanan hidup manusia. Bila orang semakin rindu dengan sebuah sistem ideal yang bisa mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian diatas dunia, maka saatnya kita harus mempromosikan Islam itu sendiri.

Islam adalah solusi. Bila kondisi dunia semakin buruk, mungkin kita akan sampai pada satu masa dimana tidak ada pilihan lain selain Islam. 

Comments

Barangkali Terlewat

Kenapa Islam Harus Diterapkan Dengan Bentuk Sistem Menyeluruh?

Alerta! Dunia Islam Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Sejauh Apa Alam Akan “Menghukum” Umat Manusia? #1

Sayyidah Maryam dan Keluh nya